Hari ini lima hari sudah kita
tidak lagi berstatus sebagai sepasang kekasih. Sejak kejadian malam itu hingga
kita bersepakat untuk tidak lagi membawa hubungan ini ke arah yang lebih jauh. Aku
tahu kau sudah memendamnya berbulan-bulan lalu, jauh sebelum aku juga
memikirkan hal itu. Semula yang kukira akan baik-baik saja ternyata
berkebalikan. Hingga saat itu telah tiba. Kamu menyerah, aku juga sudah lelah.
Kita menyerah.
Aku menangis terisak-isak lima
hari lalu dan terpaksa berangkat kantor dengan wajah kusut dan mata sembab.
Pilihan yang jauh lebih bijak dibanding tetap berada di rumah dan mengetahui
ibuku melihatku begitu.
Hari yang berat berada di kantor
untuk bekerja di tengah suasana hati yang teramat kacau. Jam dinding seolah
tidak mau bergerak, telpon kantor sialan yang terus menerus berdering dan
algoritma yang tak kunjung terangkai di otakku. Aku stuck.
Berada di depan komputer tanpa bisa berpikir. Satu-satunya yang ada di otakku
hanya kata-kata perpisahan yang semalam kau lontarkan. Sesekali pikiranku
membawaku ke beberapa waktu silam. Ke tempat dimana kita masih pergi bersama.
Ke masa dimana aku sama sekali tidak tahu apa yang ada di kepalamu. Sial,
kenapa bayangan itu justru muncul disaat seperti ini. Aku beberapa kali
mengelap mataku yang terus berair sejak semalam. Sambil sesekali berlari ke
kamar mandi untuk menangis terisak kala rasa ini makin mendesak hendak keluar.
Aku sadar aku memalukan.
Setengah mati jam dinding
menunjukkan pukul 12 siang, akhirya. Aku berjalan gontai ke ruangan sahabatku
untuk menumpahkan segala carut marut di otakku. Dia yang masih melihatku
berkacamata –sesuatu yang sangat jarang terlihat ketika sudah waktunya
istirahat, terlihat menatapku dengan raut muka yang tidak biasa.
“Kamu kenapa ?”
Aku tidak menjawab, hanya
menangis sampai akhirnya mengeluarkan kata dengan terbata-bata, “A ku Pu tus”.
Dia mengelus pundakku sambil
mendengarkan perkataanku yang semakin terbata-bata tidak karuan. Hingga
akhirnya aku berhenti menangis dan dia berhenti berkata.
“Mbak Peluk”
Aku seperti kehilangan akal.
Menangis terisak-isak di pelukannya. Kencang dan semakin menjadi kala mulutku
berusaha mengucapkan sesuatu. Aku benar-benar terluka, sakit hingga memudarkan
kesadaranku. Kami berpelukan di tengah ruangan kaca yang tentu saja tembus
pandang. Sambil menangis. Dan terus menangis. Aku tidak tahu apa yang harus
kulakukan. Waktu seakan berhenti. Dan menangis adalah sesuatu yang satu-satunya
dapat kulakukan. Aku menangis dipelukannya.
Dan hari ini. Lima hari sejak
kejadian itu, aku melihatmu untuk pertama kalinya. Aku tahu kau melihatku sejak
dari kejauhan. Aku balas menatapmu. Ya, memang aku menunggu saat-saat ini. Aku
menunggu untuk bisa menatapmu dengan tatapan seperti ini. Kau menjatuhkan
pandanganmu. Melihat ke bawah dan sesekali kembali memandangku. Aku tetap
menatapmu, tak bergeming hingga kau
benar-benar menghilang dari pandanganku.
Aku membencimu. Aku membencimu meski
ini adalah keputusan kita. Keputusan terbaik sekaligus satu-satunya jalan keluar.
Bukan karena wanita lain atau pria lain. Ini tentang kita.
PS. I HATE YOU.